Belakangan ini istilah bantuan hukum agaknya mengalami kekaburan makna. Baik dalam tataran arti, konsep, maupun pelaksanaan.
Misalnya, sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat dana sebesar Rp 96,25 miliar yang dipakai untuk membayar jasa bantuan hukum bagi para pejabat atau mantan pejabat BI yang terseret kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Belum lagi persoalan itu selesai, muncul rencana dari Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri)- sebuah korps yang beranggotakan 4 juta pegawai negeri di Indonesia- untuk membentuk Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum (LKBH).
Di negara yang sistem bantuan hukumnya belum tertata secara rapi, semacam Indonesia, dampak dari penyalahgunaan makna atau istilah, bisa berakhir keruwetan. Seharusnya, konsep bantuan hukum adalah kepada rakyat miskin, yang justru jumlahnya lebih banyak dari pegawai negeri atau pejabat BI. Menghadapi persoalan hukum yang lebih sering dan pelik, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap nasib orang-orang miskin tersebut?
Akses Keadilan
Mendapatkan bantuan hukum merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi tersebut merujuk pada syarat setiap orang untuk mendapatkan keadilan, tak peduli dia kaya atau miskin. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian.
Secara umum, bantuan hukum bisa diartikan sebagai pemberian jasa hukum kepada orang yang tidak mampu --biasanya diukur secara ekonomi. Ini juga bisa diartikan, penyediaan bantuan pendanaan bagi orang yang tidak mampu membayar biaya proses hukum (Collins Essential English Dictionary 2nd Edition, 2006). Karena bantuan hukum itu melekat sebagai sebuah hak, maka ada dua esensi dari bantuan hukum: rights to legal representation dan access to justice.
The rights to legal representation bermakna hak seseorang untuk diwakili atau didampingi oleh advokat selama peradilan. Access to justice berdimensi lebih luas lagi, yakni tidak hanya diartikan sebagai pemenuhan akses seseorang terhadap pengadilan atau legal representation, tapi harus memberikan jaminan bahwa hukum dan hasil akhirnya layak, dan berkeadilan (UNDP, 2004).
Adnan Buyung Nasution (2005) memberikan tiga poin pokok dari access to justice yaitu, hak untuk menggunakan dan/atau mendapatkan manfaat dari hukum dan sistem peradilan guna mendapatkan keadilan dan kebenaran material, jaminan dan ketersediaan sistem serta sarana pemenuhan hak (hukum) bagi masyarakat miskin, dan metode atau prosedur yang dapat memperluas akses keadilan bagi masyarakat miskin.
Indonesia, belum memiliki suatu sistem bantuan hukum yang diatur oleh undang-undang. Akibatnya, bisa dibilang, pemberian bantuan hukum, terutama bagi orang miskin, dilakukan secara serabutan. Itu pun sedikit sekali disokong oleh Negara, baik dalam hal praktek maupun pembiayaan. Yang zda justru, pencantuman pos alokasi dana bantuan hukum di instansi pemerintah, seperti termaktub dalam APBN.
Menurut APBN 2008, Mahkamah Agung (MA) mendapatkan alokasi dana total program peningkatan pelayanan dan bantuan hukum sebesar Rp 6,454 triliun, Kejaksaan Agung sebesar Rp 2 triliun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp 793,9 miliar, dan Departemen Hukum dan HAM sebesar Rp 4,846 triliun.
Namun, dalam prakteknya, penggunaan dana-dana tersebut tampaknya lebih bersifat internal. Tertuju kepada biro/bidang di instansi masing-masing. Kalau pun ada yang disebar ke publik, biasanya hanya berupa program kampanye, publikasi, dan konsultasi kilat. sedikit sekali yang dipakai untuk melakukan pendampingan langsung kepada orang miskin yang hak atas keadilannya direnggut selama berurusan dengan hukum.
Hak Rakyat Miskin
Ada dua hal yang perlu disorot jika kita benar-benar serius memperhatikan pemenuhan hak rakyat miskin mendapatkan keadilan, dalam hal pemberian bantuan hukum.
Pertama, memurnikan peran advokat dan komitmennya. Kedua, langkah konkrit negara untuk menata sistem bantuan hukum yang dijamin oleh undang-undang.
Untuk poin pertama, advokat perlu memahami posisinya sebagai orang yang menyandang profesi mulia dan terhormat. Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Ayat ini bermakna bahwa kewajiban advokat tersebut bersemayam dalam diri advokat sebagai konsekuensi dari kemuliaan profesinya. Artinya apa? Setiap advokat harus memberikan segala daya, biaya, dan upayanya untuk sungguh-sungguh memberikan bantuan hukum kepada orang miskin.
Di sisi lain, untuk poin kedua, negara juga perlu menjamin hak atas bantuan hukum bagi orang miskin itu dalam suatu undang-undang. Jaminan dalam undang-undang akan memberikan kepastian dan kejelasan mekanisme pemberian dan pembiayaan bantuan hukum bagi orang miskin. Inilah bukti keseriusan negara berpihak pada keadilan dan orang miskin.
Di negara-negara lain, biaya penyelenggaraan bantuan hukum ditanggung oleh negara (state budget) dan dialokasikan setiap tahunnya. Australia Legal Aid Commision (2003-2004) memiliki total pendanaan $AU 337,757 juta, The Taiwan Legal Aid Foundation (2003-2004) sebesar $NT 217,97, di Afrika Selatan (2006-2007) US$ 77,7 juta. Anggaran bantuan hukum di berbagai negara hampir selalu meningkat setiap tahunnya.
Adanya alokasi dana tak berarti selesai semua persoalan bantuan hukum. Dalam prakteknya perlu sekali kesungguhan, keseriusan, dan kebersihan setiap elemen pendukung, supaya dana dan upaya tersebut tepat sasaran kepada orang miskin yang membutuhkan keadilan.
Afrika Selatan misalnya, merasa perlu membentuk sebuah komisi/perhimpunan independen yang mengelola dana bantuan hukum, mendistribusikan kepada pekerja bantuan hukum, mengawasi, dan melaporkannya kepada parlemen sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
Bantuan hukum, sekali lagi, bertalian sangat erat dengan keadilan rakyat. Bertalian erat dengan hak asasi manusia. Karenanya negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhinya. Jika tidak, kita patut bertanya: benarkah negara menjamin hak asasi manusia?